Saturday, March 18, 2006

Janji Kembalikan Uang, Tersangka Koruptor BLBI Minta Jangan Diadili

Oleh Viva
Sabtu, 18 Maret-2006
Icki.org

Rapat Kerja Komisi III DPR-RI dengan Kejaksaan diwarnai dengan perdebatan sengit berkaitan dengan kasus penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Agus Anwar (1/9). Perdebatan yang berlangsung kurang lebih selama satu jam tersebut melibatkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Hendarman Supandji dengan beberapa anggota Komisi III.

Dalam laporannya, Hendarman mengungkapkan pengacara Agus Anwar yang bernama Patricia Sri Ambarwati telah mengirim surat kepada Jaksa Agung dan dirinya. Surat tersebut berisi rencana kliennya yang akan mengembalikan keseluruhan uang yang dianggap sebagai kerugian negara.

“Namun, ada perbedaan perhitungan mengenai besarnya kerugian negara, dimana menurut Kejaksaan sebesar Rp492 miliar sedangkan dia menghitung sebesar Rp590 miliar,” tambah Hendarman yang juga memimpin Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Agus Anwar menjadi tersangka dalam kasus penyalahgunaan dana BLBI yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp492 miliar. Selain terkait masalah BLBI, mantan Dirut Bank Pelita ini juga diduga terlibat penyelewengan dana PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Saat ini, tersangka berada di Singapura dan kabarnya telah menjadi warga negara Singapura.

Lebih lanjut, Hendarman menginformasikan bahwa dalam suratnya Patricia juga mengisyaratkan bahwa kliennya akan mengembalikan uang tersebut apabila ada jaminan bahwa ia tidak akan dibawa ke pengadilan. “Dia juga meminta agar kasusnya jangan diajukan dahulu karena kliennya sedang mengusahakan penyelesaian keuangan tersebut dengan pemerintah,” tambahnya.


Tap MPR

Atas permintaan tersebut, Hendarman mengungkapkan tim kejaksaan telah melakukan kajian awal. Dalam kajian tersebut, lanjutnya, didapati adanya sebuah Ketetapan MPR, yakni Tap MPR No. X/MPR/2001 tentang Penugasan kepada Presiden mengenai Pengelolaan dan Penyelesaian Aset-Aset yang dikelola oleh BPPN. “Tap MPR tersebut menguntungkan seorang terdakwa kalau ia mau mengembalikan kerugian negara yang dituduhkan,” tandasnya.

Untuk itu, Hendarman berencana untuk meminta rekomendasi dari pemerintah mengenai polemik ini. Kendatipun demikian, ia menyadari idealnya kasus tersebut harus tetap diproses secara hukum. Sebab, Pasal 4 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah oleh UU No. 20/2001 ditetapkan bahwa pengembalian uang negara tidak menghapuskan suatu tindak pidana korupsi.

Berkaitan dengan masalah ini, anggota Komisi III Lukman Hakim mengatakan bahwa polemik ini harus dikembalikan kepada Tap MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Tap MPRS dan Tap MPR Tahun 1960-2002. Tap MPR tersebut, lanjutnya, telah mengkaji ulang seluruh Tap MPR sejak zaman MPRS hingga 2002. “Seingat saya sudah ditinjau oleh Tap MPR No. I/MPR/2003,” tegas anggota Komisi III dari Fraksi Persatuan Pembangunan itu.

Senada dengan Lukman, Ketua Komisi III DPR-RI Akil Mochtar juga menegaskan bahwa Tap MPR No. X/MPR/2001 yang disebutkan oleh Hendarman sudah tidak berlaku lagi. “Sebagai salah satu anggota Panitia Ad Hoc II, Saya yakin Tap MPR tersebut sudah tidak berlaku lagi sejak adanya Tap MPR No. I/MPR/2003,” jelasnya.

Akil menambahkan, sejak berlakunya UU No. 10/2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Tap MPR tidak lagi dimasukkan dalam tata urutan perundang-undangan. “Jadi, sejak pemerintahan hasil pemilu 2004, tidak ada lagi Tap MPR-Tap MPR,” menurut Akil.

Atas tanggapan sejumlah anggota Komisi III tersebut, Hendarman berjanji akan melakukan kajian lebih mendalam. Dia menegaskan kembali rencananya untuk menyelenggarakan pengadilan in absentia terhadap kasus ini.

Friday, March 3, 2006

Bentuk Tim Independen Usut Tuntas Kasus Narkoba

SUARA PEMBARUAN DAILY
Tanggal 3/3/2006

JAKARTA - Kejaksaan Agung sebaiknya membentuk tim independen untuk mengungkap sampai tuntas kasus tuntutan tiga tahun penjara terhadap Hariono Agus Cahyono, terdakwa dalam kasus kepemilikan 20 kg sabu-sabu di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat pada 12 Desember 2005.

Tim independen perlu dibentuk karena kasus tersebut kemungkinan melibatkan pejabat kejaksaan, baik di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI, maupun Kejaksaan Agung (Kejagung). Demikian dikemukakan anggota Komisi III DPR, Benny K Harman, kepada Pembaruan di Jakarta, Kamis (2/3) malam.

Benny menduga kasus tersebut melibatkan pejabat. Dugaan itu didasarkan pada, pertama, pimpinan kejaksaan baru mengambil sikap terhadap kasus itu setelah maraknya pemberitaan media massa. Padahal, persidangan kasus narkoba itu 12 Desember 2005.

Kedua, rencana tuntutan tidak disampaikan kepada Kejagung. Padahal, dalam Surat Jaksa Agung Muda Pidana Umum 19 Januari 2004 tentang Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara Narkotika, disebutkan, dengan barang bukti di atas 100 gram rencana tuntutan harus diserahkan ke Kejagung.

Ketiga, dari dulu banyak kasus korupsi yang melibatkan oknum kejaksaan, namun sanksinya tidak ada.

Dikatakan, tim independen itu terdiri dari orang- orang Kejagung yang bersih, pensiunan jaksa yang bersih, aktivis LSM dan tokoh masyarakat. Tim ini bekerja mengumpulkan fakta, mengapa jaksa penuntut umum menuntut sangat rendah. Fakta-fakta yang dikumpulkan nantinya diserahkan ke Jaksa Agung.

Serius dan Adil
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Akil Muktar mengatakan, semua jaksa yang terkait dalam perkara Hariono harus diperiksa. Menurut dia, narkoba merupakan kasus yang menjadi perhatian publik dan memerlukan penanganan hukum yang benar-benar serius dan adil. Jika terjadi permainan hukum dalam penanganannya, maka akan berpengaruh terhadap citra penegakan hukum di Indonesia.

"Putusan hakim yang hanya mengganjar hukuman tiga tahun terhadap Hariono, yang secara jelas membawa sabu-sabu puluhan kilogram, menunjukkan bahwa penegakan hukum di Indonesia belum dijalankan, terutama menyangkut kasus narkoba," ujarnya.

Dia mengatakan, meski hanya berperan sebagai kurir, Hariono merupakan salah satu mata rantai dari jaringan narkoba yang harus diputus karena tetap masuk anggota sindikat yang harus diberantas.

"Kasus tersebut harus diusut tuntas dan kejaksaan tidak boleh memberikan toleransi terhadap kejahatan narkotik. Para penegak hukum harus dapat mencari penyebab ketidakberesan dalam perkara itu," katanya.

Lebih lanjut Benny menilai, pemeriksaan oleh Jamwas dan jajarannya terhadap Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI dan jajarannya, Kamis (2/3), hanyalah formalitas supaya publik percaya Kejagung serius.

Penilaian itu didasarkan antara lain pada pemeriksaan yang dilaksanakan di Kejati DKI. "Lha, mengapa tidak dilaksanakan di Kejagung? Apa kurang ruangan di sana?'' katanya.

Dilanjutkan
Sebelumnya, Inspektur Pidana Umum Bagian Pengawasan Kejagung, Zaidan Asnawi, memeriksa Kajati DKI Jakarta Rusdi Taher, Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejati DKI Nurrohmat, dan Kepala Kejari Jakbar Dimas Sukadis, di Kejati DKI, Kamis.

Rusdi diperiksa mulai pukul 14.00. Pada hari yang sama Jaksa Agung Muda Pengawas Kejagung Achmad Lopa berada di Kejati DKI untuk mendampingi stafnya melaksanakan pemeriksaan.
Ketika dicegat wartawan sebelum meninggalkan Kejati DKI, Lopa mengatakan belum bisa memberikan keterangan kepada pers, karena pemeriksaan masih berlangsung.

"Saya belum bisa memberikan keterangan, karena masih diperiksa. Pemeriksaan terhadap mereka akan dilanjutkan besok (Jumat)," katanya.

Lopa berjanji siapa pun yang bersalah akan ditindak tegas. "Percayalah, saya tidak main-main dalam kasus ini. Siapa pun yang bersalah akan ditindak," katanya.

Unjuk Rasa
Sementara itu, ratusan aktivis antinarkotik dan obat-obatan berbahaya yang tergabung dalam Satgas Anti-Narkoba (SAN) dalam aksi unjuk rasa di depan Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis, menuntut Kajati DKI Jakarta dicopot dari jabatannya.

Hal itu dilakukan SAN terkait dengan penyimpangan prosedur penuntutan dalam kasus pengedar 20 kg sabu-sabu Hariono Agus Tjahjono, yang pada 12 Desember 2005 divonis tiga tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

"Segera copot Kajati DKI." Demikian yel-yel yang diteriakkan orator aksi unjuk rasa, Ahmad Yasin dan para demonstran, di depan gerbang Kejagung.

Penyimpangan yang dimaksud adalah tidak dipatuhinya prosedur penuntutan terutama dalam pengajuan rencana tuntutan, yang mana diatur bahwa untuk barang bukti narkotik di atas 100 gram rencana tuntutan dan gelar perkara harus dilakukan di Kejagung. Penyimpangan lain yang juga dituntut untuk diusut adalah vonis yang dijatuhkan tepat sesudah pembacaan tuntutan jaksa. (E-8)